HARTATIK, perempuan .yang
menjabat Kepala Desa Sugihrejo, Kec. Sukodadi; Lamongan ini memang berperawakan
mungil. Tapi jika sudah berbicara soal Prona, intonasinya langsung tinggi,
semangatnya pun langsung menggebu. Bukan tanpa alasan jika Tatik, panggilan
akrab perempuan berjilbab ini tampil demikian. Sebab, ia memang menjadi
salahgsatu kades yang turut tersandung kasus Prona di wilayahnya. Tatik
"menduga, maraknya kasus prona tidak semuanya murni karena faktor hukum.
Kepentingan politik lokal pun bias menjadi muatan dalam kasus yang banyak
menimpa kepala desa dan aparatur desa ini. Salah satu contoh adalah dirinya. Dalam
pertemuan dengan kepala desa seJatim yang diwakili sejumlah kepala desa dari
berbagai kabupaten di Suraba- ya, akhir Maret lalu, Tatik rnémaparkan kasusnya.
Dikatakan, kasusyang menimpa dirinya bukanlah berasal dari aduan warganya yang
menjadi pemohon program Prona. Artinya, laporan itu tidak berkaitan dengan
tingkat kepuasan pelayanan Prona yang diberikan pemerintahan desanya kepada
masyarakat.
Laporan itu justru berasal dari
LSM yang tidak pernah ia kenal dan salah satu pelapornya'“adalah orang dekat mantan rivalnya saat bertarung dalam
Pilkades, beberapa tahun lalu. Laporannya pun tidak ditujukan kepada aparat
hukum setempat, tapi kepada Presiden, Mensesneg,nDPR RI,KPK, BPK dan sejumlah
instansi lain yang berada di pusat maupun di Jatim. Atas laporan itu, Mensesneg
langsungg menindaklanjuti aduan'LSM tersebut, lalu diteruskan keinspektorat
Lamongan. Tatik pun sernpat dipanggil untuk dimintai penjelasan akibat aduan
tersebut.
Tatik berkeyakinan, pelaksanaan
Prona di desanya sebetulnya ada masalah.
Sebab, pélaksanaannya tidak dihandel sendiri, tapi diserahkan kepada kelompok
masyarakat (Pow) yang menangani. Dengan begitu, segala keputusan yfberkait
dengan beban pembiayaan Prona, ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama, bukan
keputusan satu orang atau beberapa perangkat desa saja.
Karena iotulah ia pun
mengungkapkan segala persoalan yang membelitnya kepada séjawatnya para kepala
desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seiuruh
Indonesia (P-Apdesi). Hartatik tidak sendiri. Sejumlah kepala desa dari berbagai
daerah juga menyampaikan persoalan prona yang menjadi keresahan bersama para
kepala desa. Di antaranya dari Sidoarjo, Lumajang, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Blitar,
Gresik, Lamongan, Bojonegoro, dan Ngawi. Di Kabupaten Situbondo, Pasuruan, Kota
Batu dan sejumlah daerah iain, Kepala Desa yang tergabung dalam Asosiasi Kepala
Desa (AKD) bahkan telah menyatakan boikot untuk tidak melanjutkan program Prona
sejak Maret lalu.“Kami sepakat tidak melanjutkan dulu program prona. Para
kepala desa menolak, karena khawatir terjerat masalah hukum dengan maraknya
kasus OTT saber pungli terhadap perangkat desa," kata Agus Supriono, Ketua
AKD Kabupaten Pasuruan, medio Maret lalu.
Hal itu juga dilakukan Paguyuban
Kepala Desa seJatim saat mengeluhkan persoalan Prona kepada Wagub Jatim, Saifullah
Yusuf, beberapa waktu lalu. Mereka juga bersepakat menghentikan sementara
program Prona sampai ada kejelasan terkait payung hokum beban biaya Prona bagi
pemohon.
Rancunya Pemerintah
Penangkapan sejumlah aparatur
desa, dan bahkan camat di sejumlah daerah akibat Prona sebetulnya tak perlu terjadi
jika antarsemua instansi memahami semangat dari program Prona. Sebab, program
yang dikampanyékan gratis oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) itu sesungguhnya
tidak gratis seratus persen, seperti yang banyak dipersepsikan masyarakat.
Namun masih ada sejumlah biaya yang masih harus dibebankan kepada pemohon,
yakni, masyarakat yang mengajukan program ajudikasi.
Biaya tersebut di antaranya untuk
biaya materai, pembuatan dan pemasangan patok tanda batas, Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (PPh) bagi yang terkena ketentuan perpajakan. Sementara,
biaya yang ditanggung pemerintah ada tujuh poin, yakni, biaya penyuluhan; biaya
pengumpulan data (alat bukti/alas hak); biaya pengukuran bidang tanah;
biayapemeriksaan tanah; biaya penerbitan SK Hak/Pengesahan data fisik dan data
yuridis, biaya penerbitan Sertipikat; dan biaya supervisi dan pelaporan. Nah,
yang menjadi persoalan adalah, penarikan beban biaya kepada pemohon tidak
disiapkan payung hukumnya oleh BPN, termasuk rincian besaran biaya untuk
masing-masingnya. Akibatnya, meski di Blitar, pada tahun 2005, ada kesepakatan
nilai besaran biaya tambahan sejumlah Rp 195.000,- perbidang yang ditetapkan
dalam rapat sosialisasi Prona, namun tetap saja, kesepakatan itu dianggap nggak
berlaku. Padahal dalam prosesnya, rapat sosialisasi tersebut juga dihadiri Ketua
BPN dan Kabag Hukum setempat. Saat sebuah LSM melaporkan terkait adanya tambahan
biaya pada program Prona tersebut, 6 camat dan 38 kepala desa yang hadir dalam
sosialisasi tersebut akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Meski dalam sidang,
kesemuanya itu tidak divonis melakukan tindak pidana korupsi, namun semuanya tetap
ditetapkan sebagai penerima gratifikasi
yang berujung pada penjara. (yus, dbs)
Komentar
Posting Komentar